Wawancara dengan Paox Iben

 

Pada tanggal 14 April 2016, saya kedatangan tamu. Paox Iben (dibaca: paok) namanya. Sejauh ini, saya hanya memantaunya di Facebook, terkait kelana motornya keliling pulau-pulau di Indonesia, mulai berangkat dari Lombok, Jogja, Jakarta, Sabang, balik lagi ke Medan, Padang, dan Jakarta, Bogor, terus ke Wonosobo, ke Jogja, dan kini ke Madura.

(Oh, ya, sekadar tambahan informasi, sebelumnya, ada kawan Paox yang bernama Wing Sentot Irawan, juga dari Lombok, yang lebih dulu tiba di sini. Ia menggunakan sepeda bututnya untuk keliling Nusantara. Sentot ini sebelumnya malah sudah pernah keliling ASEAN)

Selama di Guluk-Guluk, Paox mengikuti kegiatan pesantren dan juga kegiatan guru. Ia berbicara tentang Tambora untuk santri, bahkan hingga dua kali sesi. Begitu antusias para santri menanggapi. Pulang dari Guluk-Guluk, rencananya ia akan bertolak melalui pelabuhan Kalianget menuju Jangkar, Situbondo, pada hari Sabtu. Karena menurut laporan Dharma Lautan hari itu tidak ada fery yang beroperasi, maka penyeberangan pun ditunda ke esok harinya. Paox meninggalkan tempat saya pada hari Ahad pagi, 17 April 1016.

Tahun ini, rencananya, ia akan memulai babak baru perjalanan jauhnya: keliling dunia yang tahun kemarin sempat tertunda. Selamat, jaga kesehatan dan selalu berhati-hati. Semoga Allah melindungi.

Berikut wawancara saya dengan Paox Iben:

Apa kabar, Bung? Bagaimana perjalanan hari ini? Jogja-Madura lewat mana, nih?

Baik. Rutenya standar saja: Jogja – Solo – Tawangmangu – Madiun – Nganjuk – Surabaya – Madura

Sungguh saya senang karena Anda bisa tiba di tempat saya untuk yang kedua kali. Apakah Guluk-Guluk termasuk bagian dari agenda perjalanan Anda? Seberapa pentingkah Guluk-Guluk itu dibandingkan tempat lain di dalam peta perjalanan Anda?

Tentu saja saya juga sangat senang bisa sowan. Madura, khususnya Guluk-guluk itu sangat penting bagi perjalanan saya. Sebab bicara Madura, tentu bicara pesantren. Dan Guluk-guluk, Annuqayah, itu sangat penting dan menarik. Secara geografis, letaknya berada di tengah-tengah pulau Madura, tidak persis, tapi setidaknya berada di pedalaman, dikelilingi pegunungan dan lembah. Dalam bayangan saya, itu seperti biara Shaolin hehe… tempat yang nyaman, tenang untuk menimba ilmu kesejatian. Terlebih dua orang sahabat saya sekarang jadi kyai-nya. Jadi saya bisa belajar, syruuppuutt (menyerap) banyak hal, sebab dalam perjalanan, saya juga sering bertemu dengan beberapa komunitas pesantren, sharing cerita, berbagi pengalaman, dll.

Bagi saya, Madura itu juga sangat-sangat penting. Dalam spektrum kebudayaan, Madura itu kan sangat menarik, unik: alam, budaya, sejarah, manusianya. Dalam keseharian, saya banyak bertemu orang Madura. Karya-karya saya juga banyak menyebut Madura. So, kalo bicara keliling Indonesia nggak singgah ke Madura, apa kata dunia? Hehe…

Kalau boleh tahu, apa latar belakang Anda melakukan perjalanan keliling Indonesia?

Katanya kita ini orang Indonesia. Bagaimana kita mengaku Indonesia jika tidak tahu rumah atau kampung sendiri? Nah, problemnya, Indonesia ini kan sangat luas. Kita memiliki 17.000 pulau, 1300an suku, 700 bahasa. Tentu tidak semua tempat bisa kita kunjungi, tapi yah minimal pulau-pulau besarnya dan wilayah-wilayah yang memungkinkan untuk dijangkau.

Saya banyak bergelut di dunia seni, budaya, riset-riset sosial. Saya juga hobi naik motor. Ya, kenapa tidak saya berkeliling Indonesia dengan sepeda motor? Itu jauh lebih realistis daripada menggunakan moda transportasi lainnya. Nah, karena jarak tempuhnya cukup jauh, medannya juga pasti berat, maka saya perlu tunggangan yang menunjang/sesuai dengan kebutuhan. Tidak murah tentu. Karena itu, meskipun cita-cita keliling Indonesia sudah ada sejak zaman mahasiswa, baru sekarang bisa saya wujudkan. Bukan hanya motor yang harganya ratusan juta, tapi juga terkait dengan banyak hal, terutama persiapan mental, jaringan, dan tentu… pendanaan.

Trus keliling Indonesia ngapain aja? Ya, niat tulusnya tentu silaturahmi, karena di mana pun kita pasti akan ketemu manusia, sebangsa, setanah air, saling sapa, saling tegur, saling meng-akrabi, dengan banyak cara tentu saja. Ada yang sebelumnya sudah kita kenal, tetapi tentu akan lebih banyak teman, sahabat, saudara baru. Inilah menariknya. Kita bisa belajar banyak hal, kepada manusianya, alam, budaya dan seterusnya.

Dalam konteks keindonesiaan, hal seperti ini (saling mengunjungi) juga sangat penting, kan? Tanpa pretensi, tanpa konsep yang muluk-muluk, bukan melulu karena pekerjaan. Pokoknya, ya, berkunjung aja. Tanya-tanya, berkenalan, jadilah teman, sahabat, saudara. Saya percaya, Indonesia itu disatukan karena rasa demikian, tulus bersaudara. Itu harus terus ditumbuhkan, dipupuk, dibiakkan dengan banyak cara.

Saya dengar, tahun lalu Anda merencanakan perjalanan antarbenua dengan tema “Tambora Menyapa Dunia”, yakni dengan perjalanan mandiri bersepeda motor keliling dunia, apa rencana tersebut gagal, digagalkan, atau ditunda? Mengapa harus mengusung tema Tambora? Tak adakah tema lain yang lebih mewakili keindonesiaan atau kenusantaraan?

Digagalkan! Dan itu menjadi trauma tersendiri bagi saya. Bayangkan, konsep itu sudah saya susun sejak tahun 2011-2012. Selama 3 tahun saya bersusah payah untuk mewujudkan hal itu, tiba-tiba dihancurkan oleh sekelompok orang.

Awalnya, saya dan beberapa teman ingin menggagas peringatan 200 tahun meletusnya gunung Tambora. Awalnya, ya, hanya festival atau sejenisnya. Lalu ketika saya ke Oman tahun 2012 itu, muncul ide: kenapa nggak sekalian keliling dunia saja? Misalnya, start dari Tambora menuju Gunung Vesivius/Pompei di Itali. Bukankah Tambora sering disebut sebagai Pompeii dari Timur?

Kebetulan nyambung dengan program daerah (NTB), lalu oleh wakil Gubernur saat itu, saya diminta menyusun roadmap kegiatan peringatan 200 tahun Tambora. Semua saya kerjakan tanpa ada yang membiayai, riset, blusukan ke kampung-kampung di sekitar Tambora untuk menyusun apa yang pas untuk kegiatan 200 tahun meletusnya Gunung Tambora. Muncullah ide “Tambora Menyapa Dunia”, disingkat TAMADUN.

Rencananya, satu tahun sebelum puncak peringatan yang jatuh tanggal 10 April 2015, saya sudah akan memulai kampanye berkeliling dunia: bikin pementasan, pemutaran film atau apalah. Program itu disetujui oleh daerah, dianggarkanlah di APBD. Untuk program keliling dunia itu dianggarkan sekitar 350 juta. Saya pun berbunga-bunga dan semakin bersemangat. Saya mulai ngumpulin duit untuk beli motor. Paling terjangkau, ya, cuman Kawasaki Versys. Harganya sekitar 150 jt. Tabungan saya + istri sekitar 80 juta. Sisanya ngutang dulu…

Tema besarnya adalah tentang “katastrofi/kebencanaan”. Ini tentu sangat menarik sebab Indonesia itu negeri “bencana” dan letusan gunung Tambora 200 tahun yang lalu merupakan letusan gunung berapi terbesar sepanjang abad modern. Konon, letusannya 13.000 kali bom atom Nagasaki/Hiroshima. Jadi, bisa dibayangkan seperti apa letusannya. Saya pun mulai menulis novel untuk itu.

Selain itu, selama saya jalan, beberapa acara juga tetap bisa dilakukan. Ada EO yang ditunjuk pemerintah untuk itu.

Sebulan sebelum pelaksanaan kegiatan tiba-tiba saya dihajar media, dituduh ‘ingin jalan-jalan pakai uang negara’ lah, itu program ilegal karena DPRD tidak tahu lah, dan seterusnya. Usut punya usut, itu dilakukan oleh Timses Gubernur yang merasa dilangkahi. Kebetulan, waktu itu sedang selesai pemilukada. Gubernur lama terpilih lagi. Saya ‘kan tidak paham dan merasa tidak ada hubungannya dengan politik. Saya juga sangat tahu diri saya ini pendatang. Jadi, saya nggak mau ikut-ikut.

Tapi, bola panas sudah kadung membesar. Pihak Budpar sebagai kuasa anggaran ketakutan, sebab orang-orang ini konon lingkaran dekat gubernur dan merasa sangat berkuasa. Dana itupun tidak jadi dicairkan, tapi isu yang berkembang lain lagi. Saya benar-benar disudutkan, difitnah, seolah-olah sudah terima uang dan tidak berangkat,  padahal saya harus pontang-panting mencari kekurangan dana untuk melunasi motor dan mempersiapan banyak hal.

Saya sangat sakit hati. Sebenarnya program itu sangat bisa saya lakukan tanpa keterlibatan pemerintah, tapi kan sudah terlanjur itu diklaim menjadi acara daerah. Bahkan saya dibilang ‘orang luar’, tahu apa soal Tambora. Baru setelah novel saya terbit (novel berjudul/tema ‘Tambora’), semua pada melongo, tapi saya sudah terlanjur sakit hati dan merasa percuma saya teruskan karena hanya akan memicu konflik yang menghabiskan banyak energi.

Tapi, keinginan saya untuk berkeliling dunia sudah bulat. Saya pun banting stir, cari tema lain. Muncullah ide baru, kenapa tidak mengangkat tema “Bhinneka Tunggal Ika for The World” saja? Start dari Borobudur menuju Berlin.

Untuk persiapan ini, adakah konjen-konjen atau KBRI di luar negeri yang sudah Anda hubungi? Saya pikir, Anda juga perlu menghubungi komunitas masyarakat Indonesia di luar sana.

Tadinya, sewaktu masih mengusung tema “Tambora Menyapa Dunia”, saya sudah berkoordinasi dengan Menteri Pariwisata segala. Saya bikin tim kecil-kecilan, begitu juga teman-teman di luar negeri. Pokoknya, semua kontak dan jaringan harus dimaksimalkan. Lobi-lobi, termasuk kemungkinan sponsor, juga sudah saya upayakan, sebab dana dari NTB itu hanya meng-cover 15%. Sisanya saya cari sendiri, dan semua hancur berantakan gara-gara TAMADUN itu digagalkan. Sponsor tentu lari semua. Panitia/managemen yang saya bentuk kocar-kacir. Bukan hanya dari nol, saya bahkan harus mulai dari minus, tapi saya tetap bersemangat, berusaha sekuat mungkin bangkit dari keterpurukan dan berusaha lebih keras lagi.

Bagaimana persiapan pengurusan visa atau OAV (On Arrival Visa) serta tetek-bengek lainnya? Adakah kawan-kawan di Eropa, misalnya, yang siap membantu?

Ada beberapa kawan yang sudah saya kontak, tapi prinsipnya semua bantuan sangat dibutuhkan, apa pun bentuknya, he, he…

Untuk visa orang sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan, tapi izin kendaraan ini yang agak rumit memang. Kita mesti mengurus CDP (Carnet de Passage) yang masing-masing negara beda aturan mainnya.

Jika tidak keberatan, bolehkah saya tahu, apakah dana yang Anda gunakan untuk perjalanan berikut itu sepenuhnya dana pribadi mengingat kebutuhannya sangat besar? Atau dananya langsung mengucur dari Langit di sepanjang jalan?

Dana pribadi seluruhnya? Wahh saya bukan orang kaya atau anak konglomerat, he, he…Tentu saya harus berupaya keras, mencari sponsor, donasi. Dan semua jalan halal akan saya tempuh untuk itu.

Jika tidak keberatan berikutnya, mengapa Anda memilih motor Versys dan bukan motor touring yang lain? (Ini murni pertanyaan saya, bukan bisikan dari dealer Kawasaki)

Sejujurnya karena terpaksa, cuman itu adanya, he, he… Harga moge di Indonesia tidak masuk akal, dan hanya Versys yang terjangkau. Kalau boleh memilih tentu saya akan menggunakan Ducati Multistrada atau BMW 1200Gs, meskipun itu terlalu besar buat body indonesia tapi sudah teruji untuk long trip. Dikelasnya (650cc), hanya Kawasaki Versys yang harganya di bawah 200 juta. Performanya juga lumayan lah.

Dan ini pertanyaan paling cadas, bagaimana keputusan perjalanan ini dibuat bersama istri dan anak-anak, bersama keluarga? Tanpa dukungan mereka, jelas Anda tidak akan melakukannya, bukan? Saya tabik dan solak terhadap Anda, keluarga Anda, istri dan anak-anak Anda, juga semua yang berada di belakang Anda.

Ini juga pertanyaan paling rumit saya jawab. Intinya, dunia saya dan istri ini kan tidak terlalu jauh berbeda. Jadi, sama-sama memahami aktivitas masing-masing. Masalahnya adalah kemampuan kita untuk mengupayakan keinginan itu, jangan sampai mengorbankan keluarga. Itu saja.

Tapi, prakteknya tentu tidak semudah itu. Istri saya bilang setuju, tapi begitu banyak masalah itu juga mempengaruhi hubungan rumah tangga kami. Terutama ketika Program TAMADUN itu dianulir sepihak. Banyak sekali masalah muncul. Hutang menumpuk. Perasaan ditinggalkan/dijauhi orang-orang, apalagi kesannya saya dibenturkan dengan pemerintah daerah. Banyak orang nyinyir dan takut dekat dengan saya. Teman-teman, yang saya anggap dekat dan sebagiannya alumni Jogja, justru mereka yang getol menyerang saya di medsos. Seolah dengan menyerang saya, mereka menjadi bagian dari kelompok yang aman karena melawan musuh pemerintah. Kecuali Kholil (maksudnya TGH. Khalilurrahman Djuaini, pengasuh PP Darul Hikmah, Narmada, Nusa Tenggara Barat), hanya dia yang membela saya. Nggak apa-apa, saya jadi tahu mana kawan sejati dan siapa itu pecundang.

Hampir tiap hari saya berantem sama istri, yang sebelumnya bahkan belum pernah berselisih paham. Sungguh, itu sangat berat bagi kami. Lama-lama masalah itu mulai ter-urai dan menemukan titik temu, terutama karena secara kebetulan karir istri saya mulai bagus, he, he… Jadi, masalahnya sebenarnya cuman soal ekonomi. Karena kemarin banyak hutang, dan jujur terpaksa saya harus menjual warisan keluarga (maaf tidak bisa saya cerita) untuk menutupi hutang-hutang saya, sekarang sudah lunas. Plong. Mulai yang baru lagi, hi, hi, hii..

Kembali ke soal keliling dunia, istri saya sangat sadar bahwa itu adalah bagian dari jalan hidup saya. Jika itu bisa dilakukan, maka ia akan jadi capaian tertinggi dalam hidup kami. Dia bilang justru akan sangat mengecewakan jika saya mundur, atau tidak jadi, itu tidak bagus. Artinya, saya kalah dengan keadaan, sebab anak-anak juga sudah kadung tahu saya akan keliling dunia. Saya harus ngasih contoh yang baik, setidaknya berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Itu juga akan menjadi keteladanan yang baik bagi mereka.

Soal kangen, rindu, itu pasti, tapi sekarang kan sudah zaman teknologi. Komunikasi jadi relatif mudah dilakukan.

Baik, Bung, terima kasih sudah berkunjung kemari. Semoga sehat, hari-hati selalu di jalan. Semoga Tuhan melindungi. Jangan lupa, jaga kesehatan dan jaga pula itu data-data foto dan video supaya tidak hilang sia-sia, ya!

Terimakasih juga. Mohon doa restu dan dukungannya…

11 thoughts on “Wawancara dengan Paox Iben

    • Makasih, Mas Uki, sudah mau membaca dan berkomentar di sini. Mas Paox penggemar kopi. Sepulang dari sini, ia lewat Jangkar. Suatu saat semoga bisa bertemu dengan Anda

  1. Wah, kalau tahu kan bisa disuruh mampir ke Bondowoso Ra. Selain bisa menikmati kopi Gunung Biru, juga bisa dibuat tulisan. He hee

    • semoga saja begitu. tulisan ini adalah salah satu referensi untuk siapa pun yang ingin berkenalan dengan petualangannya meskipun sangat singkat.

    • Anda silakan juga baca esai saya tentang PAIMO dan WING SENTOT Irawan, pesepeda kelas dunia dan ASEAN. Saya tulis di blog satunya, kormeddal. blogspot.com

  2. Mantap Mas, semoga rencana keliling Dunianya lancar dan tidak ada ganjalan lagi. Semangat !!!

  3. Kapan Kakak nyusul pakek Titosdupolo-nya? Akan menjadi perjalanan yang indah. Apalagi kendaraannya semegah Colt. Bisa sambil ngopi – ngopi tuh… 😀

Tinggalkan Balasan ke Imam Abdurrahman Batalkan balasan