Sastra Tengah Malam

Di Madura, dapat dikatakan bahwa kehidupan sastra itu ada di pesantren. Bukan hanya karena tradisi syair dan nadham yang telah menghuluinya, namun gairah sastra kontemporer pun terus berlangsung dan berkembang di sana, dari tahun ke tahun, sebagai alasannya. Pengalaman ini terasa karena saya mengamatinya sejak beberapa tahun belakangan ini. Menurut Jamal D Rahman, dalam wawancara Liputan 6 SCTV tentang geliat bersastra di pesantren, jumlah kiriman karya sastra ke Kaki Langit, rubrik sastra untuk remaja di Majalah Sastra Horison itu, banyak sekali yang datang dari bilik-bilik pondok pesantren.

Di Sumenep, kabupaten tempat saya tinggal, saya tahu persis kegiatan bersastra santri, terutama baca puisi, sangat marak menjelang haflatul imtihan. Acara ini (haflatul imtihan) adalah kegiatan tutup tahun pelajaran di madrasah-madrasah. Hampir dapat dipastikan, dalam setiap haflah, lomba baca puisi selalu menjadi bagian dari acaranya. Umumnya, acara dilaksanakan di malam hari.

Selama tahun 2002 hingga 2007, setiap tahun saya hadir di banyak kegiatan lomba baca puisi pada berbagai haflatul imtihan di madrasah-madrasah sekitar desa saya. Rekornya, saya pernah menjadi juri lomba baca puisi dari pukul 8 malam dan berakhir pukul 2 dini hari. Betapa hebat apresiasi mereka terhadap sastra; itulah kesimpulan saya sementara, ya, dari fenomena yang kasat mata. Peristiwa seperti ini mungkin tidak mudah terjadi di tempat lain, apalagi di kota.

Malam Jumat lalu, 21 November 2013, saya menghadiri sebuah acara pentas seni (dan sudah barang tentu ada pembacaan puisi di sana), di Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Bata-Bata, Pamekasan. Acara-acara di pondok pesantren umumnya memang dilaksanakan pada Kamis malam karena libur pesantren adalah esoknya, hari Jumat, bukan hari Ahad. Acara yang diselenggarakan oleh BBEC (sebuah institusi bahasa Inggris di pondok tersebut), diletakkan di salah satu halaman pondok, beratapkan langit. Berbagai pentas dipertunjukkan pada malam itu. Saya mendapat jatah diskusi dan baca puisi.

Menjelang acara berakhir yang dijadwalkan pukul 00.00, jumlah hadirin semakin banyak. Panitia memperkirakan kurang lebih ada 3000-an santri datang untuk menyaksikannya. Kiranya, jumlah ini terbilang fantastis untuk sebuah pertunjukan seni (teater dan puisi).

Sehabis acara, panitia, beserta beberapa orang yang berminat untuk mengikuti diskusi sastra, meminta saya untuk bicara sedikit perihal proses kreatif dan hal-ihwal puisi pada umumnya. Bisa dibayangkan, jika acara resminya saja bubar pada pukul 00.00, maka jam berapa diskusi itu berlangsung/bubar? Acara tambahan ini berakhir pada pukul 01.30 dini hari.

Meskipun capek dan mengantuk, saya sungguh menikmati acara ini. Saya merasa senang malam itu. Paling tidak, kegiatan ini saya catat sebagai ‘yang pertama’ dalam hal diskusi sastra tengah malam serta menjadi gambaran kecil bagaimana minat dan gairah kegiatan sastra di Madura, di pondok pesantren pada khususnya.GambarGambarGambarDGambarGambarBGambar

14 thoughts on “Sastra Tengah Malam

  1. Nostalgia ke Jaman SD nih baca artikel yang ini hampir Persis, lebih kurang di kampung halaman saya Tasikmalaya demikian walau saya tidak terlalu lama mondok jadi ‘santri Kalong’ :))

    • @El-Hamid: terima kasih sudah membaca kisah saya di atas. Saya masih punya hasrat dan keinginan untuk ke Tasik, tapi entah kenapa kok sampai saat ini belum terkabul juga

      • Suatu saat insya Allah anda sampai kesana mas, Tasik itu asyik, tentram & mimpi saya menghabiskan masa tua disana dikampung nenek moyang, di setiap kampung ada pesantren.

Tinggalkan Balasan ke Munawar Lombok Batalkan balasan